Pages

Pengikut

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 April 2013

HADIAH UNTUK BUNDA



Helai- helai mahkota yang hitam, panjang, dan berkilau itu disisir, lalu digelung. Kemudian, dikenakan sehelai kain segi empat berwarna hijau muda untuk menutupi mahkota tersebut. Pada kain itu, disematkan hiasan mungil berbentuk bunga dengan warna orange, yang sepadan dengan pakaian yang dikenakannya, yaitu gamis berwarna orange dengan renda-rendadi sekeliling pinggang serta bagian ujung tangannya yang berwarna hijau muda. Bentuk wajah pemiliknya seperti bulat telur, gigi-giginya seperti permen happydent yang berjejer seperti jagung, dengan warna kulitnya mengikuti keturunan melayu. Nampak sejuk dan anggun tatkala sosok itu tersenyum. Tuturnya yang lembut dan santun menebar kedamaian pada setiap jiwa yang bersamanya. Pemilik gamis hijau muda itu adalah Shafa, seorang mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera Selatan.

Shafa berdiri dan beranjak dari kamarnya, ia akan pergi memenuhi kewajibannya sebagai muslim, yah...tholabul ‘ilmi. Sebelum melangkahkan kakinya, gadis itu menunduk sejenak, menggenggam kedua tangan dan meletakkan di depan dadanya, memohon keridhaan Allah atas apa yang akan dikerjakannya. Dengan semangat, ia berjalan, menggendong sebuah kantong berwarna hitam yang berisi beberapa buku mata kuliahnya. Sebelum menuju gudang ilmunya itu, ia terlebih dahulu mengambil dua kotak kue yang siap dijajakannya di kampus pada Bu Meri, seorang pembuat kue sekaligus Ibu kost Shafa yang biasa di panggil Bi Mer.

Shafa   : “Assalamu’alaikum, Bi Mer...,”

Bi Mer   : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Eh, Shafa..., dem rapi nian, nak berangkat lah, kau Fa?”

Shafa   : “Iyo, Bi..., Shafa nak berangkat sekarang,” bibir mungilnya menyunggingkan senyum pada bi Mer.

Bi Mer : “Iyo, Fa. Tunggulah sini bentar.” Ucap Bi Mer yang kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.

Shafa  tersenyum manis, lebih manis dari sebelumnya.

Beberapa menit kemudian, datang Bi Mer dengan dua kotak kue, di mana setiap kotaknya berisi dua puluh buah kue dengan lima jenis kue, yang mana dari penjualan itu, upah yang diberikan kepada Shafa adalah sepertiga dari seluruh hasil penjualan. Shafa menerima dua kotak itu, lalu pamit untuk berangkat ke kampus. Shafa menempuh perjalanan 300 meter itu dengan jalan kaki. Dalam setiap langkah ia menapak, untaian shalawat dan dzikir menemani perjalanannya hingga sampai pada tempat yang hendak ia tuju. Gadis itu selalu bersikap ramah jika dalam perjalanannya bertemu dengan orang yang lebih tua, sesama, bahkan yang di bawahnya sekalipun.

Ibu Shafa adalah seorang guru tetap di sebuah Madrasah Tsanawiah di kampung halamannya.Yang mana beliau harus menempuh waktu sekitar 4 jam dengan kendaraan umum yang sesak dan penuh aroma walau hanya untuk mengantarkan sekarung beras untuk anak semata wayangnya. Tak jarang, beliau terpaksa berdiri karena banyaknya penumpang hingga melampaui tempat duduk yang tersedia. Tapi, tak ada jalan lain, hanya itu satu- satunya kendaraan umum yang menjembatani antara kota dan kampung itu.(gimana kalau kata itu dihilangkan saja)

 Bu Elsa, begitu nama panggilan dari ibunya Shafa. Beliau memiliki pribadi yang teguh, mandiri, dan tidak mau bergantung kepada orang lain, baik itu orangtua maupun saudara kandungnya sendiri. Ayah kandung Shafa sudah tiada sejak Shafa berumur dua tahun. Selain mengajar di Madrasah, Bu Elsa juga mengajar di TPA di Surau yang ada di kampungnya. Hari- harinya dijalani dengan istiqamah, dan selalu ikhlas dalam mengerjakan sesuatu. Bu Elsa terkenal dengan sosok yang ramah, tegas, bijaksana, teliti, santun, dan tegar dalam menghadapi tantangan dan ujian hidup yang dijalaninya. Beliau tetap kuat dan semangat dalam melangsungkan kehidupannya, Islam yang mengajarinya kasih sayang, dan kasih itu seluruhnya ia curahkan untuk gadis kecilnya. Mungkin benar, peribahasa buah yang jatuh, tak akan jauh dari dahannya bila kita amati kepribadian Bu Elsa dan Shafa.

Shafa kecil, senang menulis. Berawal dari menulis memo, diary, dan surat untuk kakeknya. Bu Elsa yang peka terhadap hobi anaknya tersebut, mulai telaten membimbing dan mengajari Shafa untuk mengarang. Mulanya, ia mengajarkan bagaimana membuat karangan narasi, dan deskripsi. Bu Elsa berharap, Shafa terbiasa menuliskan apa saja yang pernah dialaminya, karena ibu percaya, ada saatnya hanya buku dan pena yang menjadi teman terbaik Shafa. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan pola pengembangan potensi Shafa, Shafa ingin tulisannya di publikasikan. Satu- persatu, buah karyanya ia kirimkan ke beberapa redaksi majalah anak, tetapi saat itu tak pernah dimuat karena waktu pengirimannya selalu terhambat oleh jarak tempat tinggalnya yang jauh di pelosok. Di Sekolah Dasarnya, Shafa selalu mengikuti lomba mengarang cerita anak dan beberapa lomba mengarang puisi. Tetapi saat ia di bangku menengah, ia tak pernah lagi menulis. Dan sekarang, Shafa mulai menata lagi hobi, bakat dan potensinya dari awal. Secara terus menerus ia gali dan tekuni. Setiap hari, Bu Elsa berdoa untuk putrinya agar menjadi muslimah yang cerdas dan berbudi, serta dapat meraih semua yang menjadi harapan dan cita- citanya. Gadis keturunan melayu itu mengikuti berbagai kesempatan menulis yang menghampirinya, dengan tekat dan percaya dirinya, Shafa terus menulis dan lebih giat berkarya dalam tulisan. Adapun saat ini, ia tengah mempersiapkan karangan terbarunya, dalam ajang menulis cerpen pada suatu forum. Shafa berupaya memberikan tulisan terbaik yang akan dipersembahkan untuk ibunya tercinta.

Suatu senja, Bu Elsa sedang mengajar di TPA. Tepat pukul 16.00 WIB, beliau mengakhiri pembelajarannya di TPA tersebut.

Bu elsa   : “Anak-anak, ngaji kito sore ni cukup sekian, kamu boleh berkemas.  Sebelumnyo, ado yang nak ditanyo idak?”

Santri     : “Idak bu...,” (jawab para santri dengan kompak)

Bu Elsa   : “Yo dem, kalo dak katek yang nak ditanyo..sekarang sebelum balik, kito berdoa dulu..yok, samo- samo ! “

Santri    : (duduk rapi dengan kedua tangan bertumpu di atas meja) “bismillahirrahmaanirrahiim..., alhamdulillahirabbil’alamiin...,”

Bu elsa   : (berdiri) “Baiklah, doa selesai. Semoga apo yang kito buat sore ni diberkahi samo Allah, semoga ilmu yang kalian dapat bermanfaat yo..., Ibu doake kalian jadi anak- anak yang cerdas, soleh, dan solehah. Amiin..., ”(diikuti semua santri). “Wassalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh”

Santri       : (serempak menjawab) “Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh..” (keluar kelas dengan satu barisan panjang seraya mencium tangan Bu Elsa bergantian).

Di tengah perjalanan, ketika beliau hendak menyebrangi jalan, tak diduga sebuah kendaraan beroda empat yang membawa ratusan tandan kelapa sawit melaju dengan kecepatan di atas rata- rata. Tak sempat mengelak, Bu Elsa tertabrak dan tergeletak di tengah jalan dalam kondisi tak sadar dengan tubuh berlumur darah. Ironis memang, saat kejadian berlangsung, tak ada orang pun yang berlalu lalang, truk yang menabrak tak bertanggung jawab, sehingga beliau terlambat mendapat pertolongan. Hingga sekitar sepuluh menit kemudian, seorang warga mendapatkannya dan segera membawanya ke Puskesmas. Ternyata, tangan kanan Bu Elsa mengalami patah tulang dan terdapat luka di kepalanya. Hal ini menyebabkan darah terus keluar. Sementara, stok darah yang tersedia di Puskesmas tidak ada yang cocok untuk Bu Elsa. Pihak Pukesmas pun secepatnya berusaha mendapatkan donor darah. Segera warga menghubungi orangtua dan saudara Bu Elsa yang tinggal di kampung sebelah. Malam itu pula, Kakek dan Paman Shafa bergegas menuju Puskesmas. Alhamdulillah Bu Elsa sudah sadar tepat saat mereka tiba. Ketika itu, Paman Shafa hendak menghubungi Shafa dengan telepon. Namun, Bu Elsa melarangnya, karena ia tahu kalo Shafa tengah mengikuti Ujian Tengah Semester. Ia tak ingin, fikiran Shafa terganggu karenanya. Tetapi setelah diberi pengertian, akhirnya Bu Elsa mengizinkan juga.

Sepulang dari kuliah, sekitar pukul 17.30 WIB, Shafa segera masuk ke ruang sederhana berukuran pas-pasan yang menjadi tempat tinggalnya. Bagai terhentam badai dari tujuh samudra di dunia, dan seakan langit runtuh, ketika Shafa mendengar kabar mengenai ibunya tercinta, gadis itu berbaring dengan wajah menghadap ke permukaan tempat tidurnya, mendekap erat bantalnya, tetes- tetes air pun keluar dari matanya. Tak ada yang dapat disesali, situasi tidak memungkinkannya untuk pulang. Pilu, keadaan ini sungguh menyayat hati dan mengguncangkan jiwanya. Tersadar atas kesedihan yang berlebih itu, Shafa segera mengambil air suci kemudian melantunkan kalam illahi dan melafalkan asma- asma Allah. Di akhir shalatnya, Shafa berdoa kepada Yang Maha Mengasihi, agar memberikan kekuatan untuk ibunya, dan ketegaran padanya.

Dalam waktu yang sama, Bu Elsa tak dapat lagi menahan sakit yang di rasakannya, dan untuk yang kedua kalinya ia tak sadarkan diri. Kakek dan Paman Shafa panik karena sampai detik ini Bu Elsa belum mendapatkan tranfusi darah. Kemudian, mereka bergegas mencari pendonor untuk Bu Elsa, dan hanya menitipkan Bu Elsa pada tetangga dekatnya. Beberapa menit kemudian, datang lah petugas puskesmas dengan membawa dua kantong penyambung nyawa itu. Tranfusi segera dilakukan, dan tetangga yang diamanahkan untuk menjaga Bu Elsa pergi mencari Kakek dan Paman Shafa, sampai akhirnya mereka bertemu, lalu menjaga Bu Elsa bersama-sama.

Pada malam ini dan malam- malam berikutnya, Shafa dengan tekun menyelesaikan karangannya. Dengan kondisi Ibunya saat ini, justru menjadi motivasi yang besar bagi Shafa untuk menulis karangan dengan baik. Di pertengahan malam, bagai suatu kewajiban bagi Shafa untuk melaksanakan ibadah sunah, doa- doa terbaik ia sampaikan untuk kesembuhan ibunya. Demikin yang dilakukan oleh Bu Elsa, walau kondisi kesehatan tak baik, namun doa untuk Shafa mengalir tiada henti, shalat pun tetap ia jalankan walau hanya dengan berbaring. Semakin hari, kondisi kesehatan Ibu dengan satu anak ini semakin membaik, luka di kepalanya berangsur pulih dan tangannya sudah bisa digerakkan hampir seperti sediakala.

 Tepat di hari ke tujuh, akhirnya Bu Elsa diperbolehkan pulang. Pada hari itu juga, Shafa selesai menempuh Ujian Tengah Semester dan langsung pulang ke kampung halamannya. Tiba di rumah, Shafa mendapat kabar bahwa Ibunya sudah diperbolehkan pulang, sungguh bahagia hati Shafa mendengarnya dan tak sabar ia ingin segera menjemput ibunya di Puskesmas.

Di tengah perjalanan, Shafa bertemu dengan anak- anak yang cantik, manis, dan unyu- unyu, ternyata mereka adalah anak- anak TPA yang biasa diajarkan mengaji oleh ibunya. Satu diantaranya merengek, meminta agar mereka diperbolehkan menjenguk Bu Elsa. Tentu dengan senang hati shafa memperbolehkan mereka pergi bersamanya. Keadaan Bu Elsa semakin membaik ketika ia tinggal di rumah, apalagi kini ia tinggal bersama buah hati yang selalu merawatnya.

Dua hari tinggal bersama ibunya, bukanlah waktu yang memuaskan. Namun, teringat akan kewajiban tholabul ‘ilmi , Shafa kembali melanjutkan studi yang dikontraknya. Sang ibu pun nampaknya sudah sehat dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Beberapa minggu setelah itu, tibalah waktu dimana pemenang lomba menulis akan diumumkan.

***

Jantung Shafa seperti habis marathon sejauh 1 km, keringat dinginnya mulai bercucuran, hawa dingin yang semilir di tengah malam ini semakin mendebarkan jiwanya. Jarum jam dinding di kamar kostnya sudah tepat menunjukkan angka 12. Saat itu juga, muncullah postingan terbaru dari panitia lomba tersebut. Spontan Shafa  bersujud setelah beberapa detik ia menjumpai namanya tercantum menjadi salah satu pemenang lomba. Setelah itu, Shafa segera mengambil handphone tulalit nya dengan maksud segera mengabarkan berita ini kepada ibunya. Tapi, karena bahagianya itu, dia lupa bahwa pulsanya sudah habis. Yah, karena memang besok pagi hasil penjualan kue Bi Mer baru diberikan kepadanya. Akhirnya, Shafa mengurungkan niatnya, dan berbalik untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat tahajud.

Begitulah, sosok seorang muslimah yang diberi kelebihan untuk tegar dalam menghadapi ujian dari Allah, yang selalu mengingat nama Allah, dan mendekatkan diri kepada Allah.

*end

maaf ya, kalo masih ada kesalahan dari intrinsik cerpennya...saya masih belajar ^_^
ditunggu koreksinya.....Salam Semangat...!
Allahumma sholli'ala sayyidina Muhammad..., :)

Cassette



“Oh, no! This wouldn’t happened if she laid off her hands!” Mia felt bad. Her face turned red, her voice sound upset. She kept calling the girl’s name, the girl who caused her madness, Shinta.
“Argh….I hate her!” she souted.
Mia walked back toward her badroom. The only place that makes her feels comfortable, no longer there. She was not feeling the some now, because her days was already ruined. Because of Shinta, her day was bleak.
Mia took her phone cell and send a massege to Shinta.

                                                            ***

It started two days ago. It was a sunny Sunday morning, when she got a company.  That day her friendLinda come offer. One her way to Mia’s house, Linda met Shinta and when she knew that Linda wanted to meet Mia, she wanted to come along. The truth was Linda did not feel comfortable with her presence. As usual, no body really liked Shinta. But, Linda couldn’t refuse her. Besides, she knows that she needs company to visit her best friend. So, they went together to Mia’s.
“Ding dong!!” the door bell rings.
Mia got down from stairs to open the door. She is very happy because Linda come to her house. She was surprised with Linda’s company, but tried ignore. Than they went to the bedroom, Mia told about her experience in Bandung. But, a few minutes after, the phone rang, she received it and speak quite long. The two girls stayed in he room, Shinta looked at the cassetes collections, near the bed. It’s Alannis Morrisette’s new album, she took it and played it on tape. Linda still busy reading the magazine when all of a sudden Sinta started to tell about her journey to where Mia went in Bandung.
Linda ignored her; she heard it a hundred times. Her face shown how desperate she was. But she kept silence, though she wish Mia to go back soon. For five minutes, Shinta kept on talking making Linda feel bored. Than, she remembered something and asked about the tape.

“Hei, where’s the song?”
With that, she made Shinta stopped talking and checked the tape. She pushed another button and than the music was on again. They listened together. Not long after, Mia started to talk a very long talk.

***

Two days later, Mia went back from school, and on one in the house, she took her tape from where she usually stashed and turned it on; but a moment after she heard nothing, instead the voices she knew very well. It was her friend’s voices.
“What? What’s  going on?”
“Wait a minute! They recorded voice on my cassette. They must have pushed the record button! No way!”
Mia checked the tape again, to make sure that the voices wear really her friends voices. She played it over and over; no doubt about it, it’s them. She got panicked and confused. Her cassette, Alannis Morissette’s album with the singer’s real autograph, was a gift for her birthday, from her causin in Canada. And now, it was broken.
“I can’t believe this!” she mumbled to herself; trying to manage herself, she took a dreep breath and tried to calm down. She went to take her phone cell and give Linda text.
“Linda , what did you do with my cassette, yesterday?  There are your voices in it.“ She typed. The massage was send. Not long after, Linda replied.
“No, I didn’t do a thing with tour tape, I swear.” Was Linda’s reply text.
“But the record of your voice’s and Shinta’s?” Mia send another text in reply.
“I was reading a magazine, the one who played the tape was Shinta. How came our voices on the cassette?” Linda asked back.
Mia did not have time to reply text again; all she needed to ask is the last person who was also there, Shinta. She had to ask for an explanation. She tried to call her number but it was off-line. Then she decided to text her.
“Did you break my cassette? Your voice was on it; what did you do?” she send the massage right away. Mia could not accuse Linda. She knew her best friend, Linda, and she was telling the truth. Mia waited for very long, but Shinta’s reply never came through. And the phone kept off-line until the day after.
                                                               ***
The next day at school lunch break. Abruptly, Mia came to Shinta and asked for answers from her. She came right at her and gave her the look.
“Your broke my Alannis?” she asked Shinta and at the some time tried to calm down.
“Broke what?” Shinta replied with that innoucent look. Mia was losing her patience.
“Did’n you read my text?” the tone a little high.
“What did you do my cassette? Now your voice is in this cassette!” mia could not say another word.
“But I didn’t do…, I just…..” shinta tried to explain, but Mia ‘s stopped her short.
“If you want to use any of my belongings, you should ask for my permissions. You’ve made me mad at the wrong person, Linda, and I even thought she was the one who broke it. How come you didn’n ask?” mia could not help herself.
“I thought if it’s fine with Linda, it’s fine with you…,” answered Shinta. Her voice was low.
“Cause she’s my friend? And she never broke my stuff?” mia replied with a high voice.
“I think…” she replied. But Mia continued, and did not give Shinta a cance to say anithing more.
“Well, maybe it’s time for you to do things with responsibility? From the moment you came with her that day, some how I sense some thing will happen and you know, I should’ve listened to my friend warning about you!” Mia couldn’t talk to her again, she left her.
Shinta was really sad and felt hart about what she heard. She knew that it was hard to do the right things and to have other accepted her. She hope to came and visit Mia, make Mia liked her, and she can be a part of her gang, truly welcomed. Maybe she could really make friends with polular girls like Mia, but that stupid things she did at Mia’s house would make her hard to find friends. She would be lucky if no one would hate her.
At the time, Linda came walking and saw her, “Heim what was that?” asked Linda.
“Nothing,” Shinta tried to hide her emotions. She walked away and left Linda. She did not want to tell anyone about it.

                                                              ***

“She didn’t even say sorry?” explained Mia.
“Well, maybe it’s because she didn’t know what to say. But you shouldn’t talk to her like that. I saw her face. She really looked shocked,” answered Linda and than send contonued, “Mia, listen, maybe she’s little bit anoying and has the tendency to be irresponsible, and she just can't stopped talking about her life, but I think she didn’t mean anyharm by that. You should saw her that day. I think she was really sad, you know.”
“Well, uh…” Mia sighed ang took very long breath. “I don’t know, Lin, perhaps I was too hard on her and yes, I admit I said something horrible to her. But it’s my Alannis, a give from Canada. I just got angry!” Mia tried explain things.
“If only she’s asked for my permissions first, well… I don’t know. Like…right till now, she didn’t even text me or anything ang say she’s story, or at least looked like she feel sorry about it?”
“If only she could talk to me, maybe things will be different,” Mia thought to herself.

                                                                  ***

It takes time to replace the broken cassettes with new ones. Shinta knows that Mia still feel upset, and doesn’t wnt to talk with her again. But she really wish she could say sorry.
But, that day someone put something on Mia’s desk, someone who tried to fix her stupid mistake
 

Blogger news

Blogroll

About